Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Saturday, September 5, 2009

Diplomasi Tanpa Politik, Politik Tanpa Diplomasi

Pengalaman mengunjungi beberapa negara membuat Cak Nun diundang jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta untuk menyampaikan kuliah bertopik Diplomasi Tanpa Politik di ruang Ahmad Dahlan UMY, 6 Desember 2007. Tidak berpretensi dan tidak mau diposisikan sebagai orang yang memberi kuliah, Cak Nun memilih bercerita nyata saja.

Terlebih dulu Cak Nun membongkar posisi para mahasiswa. Ditawarkan kepada mereka, “Anda ini mahasiswa Muhammadiyyah atau UMY? Kalau mahasiswa UMY berarti Anda hanya numpang kuliah 6 tahun setelah itu selesai, tetapi kalau Anda mahasiswa Muhammadiyyah berarti anda terikat oleh akidah, nilai, dan ideologi Muhammadiyyah.” Sebagian mereka menjawab, “mahasiswa UMY.”

Cak Nun sendiri memahami Diplomasi Tanpa Politik sejauh ini adalah ada diplomat yang cuma pindah rumah ke luar negeri bersama istri dan sopirnya tanpa punya politik  Cak Nun menjelaskan ada dua jenis diplomasi: diplomasi G to G (government to government) dan P to P (people to people). P to P diplomacy lebih luas dimensinya mulai dari budaya, antropologi, hingga sisi manusianya. Penampilan KiaiKanjeng di sejumlah kota di mancanegara membuktikan bahwa Indonesia sama sekali tidak rendah. Dicontohkan oleh Cak Nun, pada saat wakil KiaiKanjeng memberikan pidato pembukaan dalam bahasa Arab yang canggih (fushah) terperanjatlah seorang pejabat di Mesir. Segera si pejabat tersebut memerintahkan untuk meninjau kembali pendidikan bahasa Arab di negerinya yang selama ini lebih banyak menggunakan bahasa Arab pasaran.

Contoh tersebut dimaksudkan sebagai satu poin diplomasi tersendiri. Begitu pula di tempat-tempat lain di luar negeri, kehadiran KiaiKanjeng selalu membuahkan bukti bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang rendah. Cak Nun dan KiaiKanjeng selalu mendapatkan penghargaan dan penghormatan oleh warga dan pemerintah asing di mana Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir. Kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng di luar negeri membuat mata dunia terbuka lebih lebar tentang siapa dan bagaimana sesungguhnya orang Indonesia. Citra Indonesia pun berubah menjadi lebih baik karenanya.

Pembicaraan tentang diplomasi ini menyeret Cak Nun bertutur panjang lebar sampai soal diplomasi tingkat pribadi. Di situ Cak Nun bercerita unik dan lucu hingga para mahasiswa itu tertawa lebar, karena baru mendengar pengalaman manusiawi yang dialami Cak Nun. Namun secara prinsip, berkaca dari pengalaman hidupnya, Cak Nun menegaskan “kalau Anda kalah secara militer Anda masih punya peluang menang politik, kalau Anda kalah politik Anda masih punya peluang menang moral atau karakter. Itulah yang seharusnya diurus oleh diplomasi negara.”

Sedikit menyinggung hubungan RI-Malaysia yang belakangan ini menegang tensinya, Cak Nun menilai bahwa secara politik, Malaysia adalah negara lain, tetapi secara p to p/antropologis, Malaysia adalah keponakan kita. Sehingga ada banyak cara untuk menyikapi rame-rame soal upaya Malaysia meng-copyright-kan lagu Rasa Sayange dan kesenian Reog. Para mahasiswa ini juga diajak untuk berpikir tidak saja secara ruang melainkan juga waktu.

Secara ruang ada Indonesia, ada Australia, ada Malaysia yang berbeda teritorinya, tetapi secara waktu, diberi contoh aktual, Reog yang ada di Malaysia berasal-usul dari Reog Ponorogo yang dipraktikkan orang Indonesia yang tinggal di Malaysia mulai dua generasi lalu, misalnya. Tetapi Reog Ponorogo dan Reog yang ada di Malaysia tentu jauh kualitas dan mutunya dibanding Reog asli Ponorogo. Secara waktu, kita juga bisa melihat betapa beda antara Soto di Indonesia saat ini yang begitu ragam jenisnya dengan soto yang ada di Suriname yang tidak berkembang dan masih tetap mencerminkan soto jadul (jaman dulu) kira-kira abad ke-18. Tepatnya, urai Cak Nun, masalah copyright Rasa Sayange dan Reog ini tidak saja mencerminkan tak optimalnya diplomasi, melainkan tidak adanya pemahaman komprehensif terhadap sejarah masa silam bangsa.

Menjawab pertanyaan salah seorang peserta, lebih tajam lagi, para mahasiswa HI ini diajak mengembara untuk menggali ilmu diplomasi dari al-Quran. Tiga aspek yang harus dipelajari dari al-Quran yaitu aspek epistemologi, etimologi, dan struktur. Kata Cak Nun, “diplomasi Anda akan hebat dengan belajar bahasa. Lebih-lebih fenomena dan wacana intelejen sekarang sudah mengarah pada art and human penetration.” Melengkapi penjelasannya, Cak Nun menegaskan bahwa kekuasaan tidak benar-benar nyata dan awet, yang nyata itu ilmu. Maka Allah meninggikan derajat manusia karena ilmu.

Demikianlah siang itu para mahasiswa HI UMY beruntung mendapat kuliah spesial dari Cak Nun tentang diplomasi. Kuliah berupa perasan (ilmiah, kultural, dan estetis) dari pengalaman nyata Cak Nun bersama KiaiKanjeng mengunjungi Malaysia, Australia, Inggris, Mesir, Jerman, dan Finlandia-ditambah kunjungan pribadi Cak Nun ke Korea dan Hongkong-dalam beberapa tahun terakhir.

No comments:

Post a Comment